Site icon Film XXI

Sejarah Sensor dalam Industri Film: Cerita Seru di Balik Layar

filemxxi.com – Kalau kita ngobrol soal film, pasti yang terlintas di pikiran adalah hiburan, cerita seru, aktor keren, atau efek visual yang memukau. Tapi di balik itu semua, ada satu hal penting yang sering kali luput dari perhatian penonton biasa, yaitu sensor industri film. Satu hal yang diam-diam membentuk wajah perfilman dari masa ke masa.

Sensor ini bukan cuma soal motong adegan panas atau kekerasan. Lebih dari itu, ia berperan besar dalam membatasi, mengarahkan, bahkan kadang mengubah makna cerita dalam sebuah film. Nah, dalam artikel ini, kita bakal ngobrol santai soal gimana sejarah sensor ini berkembang di industri film dunia, sampai dampaknya di Indonesia juga.

Baca Juga: 8 Film Sinematografi Terbaik Sepanjang Masa yang Wajib Ditonton

Awal Mula Sensor dalam Dunia Perfilman

Ketika film dianggap sesuatu yang “liar”

Waktu film baru muncul di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, orang-orang menganggapnya sebagai media baru yang belum punya aturan baku. Bayangin, orang bisa bikin film tentang apa aja. Mulai dari drama cinta, kriminalitas, sampai hal-hal yang saat itu dianggap tabu.

Lalu muncullah kekhawatiran. Banyak kalangan, terutama pemerintah dan kelompok konservatif, mulai merasa film bisa mempengaruhi moral masyarakat. Di sinilah awal mula sensor industri film bermula. Mereka pengin ngatur isi film supaya sesuai dengan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang dianut.

Sensor pertama kali diberlakukan di Amerika Serikat

Di Amerika, kota Chicago jadi salah satu tempat pertama yang menerapkan aturan sensor pada tahun 1907. Pemerintah kota membentuk badan sensor sendiri yang menilai apakah sebuah film pantas ditayangkan atau tidak.

Dari situ, kota-kota lain ikut-ikutan. Tapi karena nggak ada aturan yang seragam secara nasional, jadinya malah bikin ribet. Film yang boleh tayang di satu kota, bisa dilarang total di kota lain. Industri film pun mulai mencari jalan agar ada pedoman yang lebih jelas.

Baca Juga: 10 Film yang Diadaptasi dari Kisah Legenda

Era Hays Code: Masa-masa Ketatnya Sensor

Lahirnya Production Code

Tahun 1930-an, muncullah yang namanya Hays Code. Ini semacam panduan resmi yang mengatur konten film di Hollywood. Nama resminya “Motion Picture Production Code” tapi karena diprakarsai oleh Will H. Hays, orang lebih familiar dengan sebutan Hays Code.

Sensor industri film di era ini benar-benar ketat. Nggak boleh ada adegan ciuman terlalu lama, nggak boleh nunjukin kekerasan berlebihan, narkoba, atau perselingkuhan tanpa konsekuensi moral. Bahkan hal-hal seperti gaun terbuka juga diawasi ketat.

Film-film harus taat sama Hays Code kalau mau tayang luas. Studio besar pun mengikuti aturan ini agar film mereka lolos sensor dan bisa meraup untung besar di bioskop.

Kreativitas muncul karena keterbatasan

Meskipun terdengar kaku, banyak sutradara dan penulis skenario yang justru makin kreatif. Mereka mencari cara untuk menyampaikan pesan-pesan sensitif tanpa melanggar aturan. Misalnya, dengan dialog simbolik atau visual yang tidak eksplisit.

Jadi sebenarnya, sensor industri film di masa itu punya dua sisi. Di satu sisi mengekang, tapi di sisi lain justru memaksa pembuat film berpikir lebih cerdas.

Perlawanan terhadap Sensor

Perubahan zaman membawa angin segar

Masuk ke tahun 1950-an dan 60-an, dunia mulai berubah. Perang Dunia sudah lewat, kebebasan berekspresi mulai digaungkan, dan generasi muda mulai mempertanyakan aturan-aturan lama. Film pun ikut terpengaruh.

Film-film Eropa seperti karya Fellini, Bergman, atau Godard mulai menyentuh tema yang lebih berani. Mereka tampilkan sisi gelap manusia, ketelanjangan, bahkan kritik sosial yang tajam. Di Amerika sendiri, aturan Hays Code mulai dianggap usang.

Pada akhirnya, Hays Code resmi ditinggalkan sekitar tahun 1968. Diganti dengan sistem rating atau klasifikasi usia. Ini sistem yang masih kita pakai sampai sekarang. Jadi bukan lagi melarang total, tapi memberi panduan penonton berdasarkan usia.

Munculnya sistem rating film

Setelah Hays Code ditinggalkan, Hollywood memperkenalkan sistem rating dari MPAA (sekarang MPA). Ada G untuk semua umur, PG untuk pendampingan orang tua, R untuk dewasa, dan NC-17 yang benar-benar khusus untuk penonton di atas 17 tahun.

Dengan sistem ini, sensor industri film tidak lagi terlalu mengekang isi film. Pembuat film diberi kebebasan, tapi tetap ada tanggung jawab untuk menginformasikan isi konten ke penonton.

Sensor Film di Indonesia

Masa Orde Lama dan Orde Baru

Di Indonesia sendiri, sensor industri film punya cerita yang cukup kompleks. Sejak zaman Orde Lama, film sudah diawasi oleh lembaga pemerintah. Awalnya, pengawasan ini dilakukan demi menjaga norma-norma sosial dan budaya bangsa.

Namun pada masa Orde Baru, sensor mulai digunakan sebagai alat politik. Film-film yang mengandung kritik terhadap pemerintah atau isu sensitif bisa langsung dicekal. Bahkan beberapa film dilarang tayang total.

Sensor saat itu tidak hanya menilai konten seksual atau kekerasan, tapi juga menyentuh aspek ideologis. Beberapa sineas pun merasa dibatasi kreativitasnya. Film jadi semacam alat propaganda daripada media ekspresi bebas.

Lembaga Sensor Film (LSF) dan fungsinya

Sampai sekarang, Lembaga Sensor Film atau LSF masih berperan dalam menyaring film di Indonesia. Bedanya, setelah era reformasi, fungsi sensor lebih diarahkan pada klasifikasi. Jadi nggak asal larang, tapi memberikan panduan sesuai kategori usia.

Namun, polemik tetap ada. Beberapa film lokal dan internasional masih sering berurusan dengan sensor. Isu seperti LGBT, agama, atau adegan sensual masih jadi wilayah sensitif. Banyak sutradara yang mengeluh karena karya mereka dipotong tanpa izin atau diberi rating yang terlalu berat.

Sensor vs Kebebasan Berekspresi

Dua hal yang harus seimbang

Di satu sisi, sensor memang penting. Nggak semua konten cocok ditonton semua orang. Anak-anak, misalnya, harus dilindungi dari tontonan yang terlalu vulgar atau brutal.

Tapi di sisi lain, sensor industri film juga bisa menghambat kebebasan berekspresi. Kalau terlalu ketat, bisa bikin sineas enggan mengangkat isu-isu penting. Bahkan bisa merusak pesan asli dalam sebuah cerita.

Makanya, sensor perlu dilakukan dengan hati-hati. Harus transparan, adil, dan bisa diajak berdialog. Idealnya, bukan melarang, tapi mengedukasi.

Sensor mandiri dari penonton

Menariknya, di zaman digital seperti sekarang, peran sensor juga mulai bergeser. Banyak platform streaming yang punya sistem rating sendiri. Bahkan ada opsi kontrol orang tua yang memungkinkan penonton memilih konten apa yang layak untuk keluarga.

Dengan perkembangan ini, sensor industri film tidak lagi mutlak datang dari pemerintah. Penonton sendiri bisa jadi sensor mandiri. Selama ada informasi yang cukup, mereka bisa menilai sendiri film mana yang cocok ditonton.

Sensor di Platform Digital

Dunia streaming dan batas sensor

Lahirnya Netflix, Disney+, HBO Max, dan platform sejenis membuka ruang baru dalam distribusi film. Film-film yang mungkin dulu dilarang tayang di bioskop, kini bisa dinikmati secara online.

Tapi bukan berarti sensor lenyap begitu saja. Sensor industri film di platform digital punya caranya sendiri. Beberapa negara tetap mewajibkan konten asing untuk disesuaikan dengan aturan lokal. Jadi meskipun film aslinya lolos di negara asal, bisa jadi tetap kena potong kalau mau tayang di Indonesia.

Tantangan global dan nilai lokal

Sensor di era digital menghadapi tantangan besar. Konten dari berbagai belahan dunia bisa diakses dalam satu klik. Tapi tiap negara punya nilai dan budaya yang berbeda. Ini jadi dilema yang belum sepenuhnya terpecahkan.

Harus ada keseimbangan antara menjaga nilai lokal dan membuka ruang untuk keberagaman. Sensor bukan lagi soal mengontrol, tapi soal memahami konteks budaya dan kebutuhan audiens yang makin beragam.

Exit mobile version